Senin, 06 Mei 2013



Pernikahan merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagi umat islam. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agung dalam memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar sesame manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih sayang.

Bahkan Nabi pernah melarang sahabat yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah, karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam agama. Oleh karena itu, manusia disyariatkan untuk menikah.

Dibalik anjuran Nabi kepada umatnya untuk menikah, pastilah ada hikmah yang bisa diambil. Diantaranya yaitu agar bisa menghalangi mata dari melihat hal-hal yang tidak di izinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari jatuh pada kerusakan seksual.

Islam sangat memberikan perhatian terhadap pembentukan keluarga hingga tercapai sakinah, mawaddah, dan warahmah dalam pernikahan. Pernikahan memiliki tujuan untuk mengharapkan keridhoan Allah SWT. Dalam Islam pernikahan merupakan sunnah Allah dan Rasulnya seperti yang tercantum dalam hadits berikut:


Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).

Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).

Dari Aisyah, Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu¡¨ (HR. Hakim dan Abu Dawud).

Sabda Rasulullah SAW: Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya.” (HR. Baihaqi).

Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihah.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).

Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim).

 Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : a. Orang yang berjihad/berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda /i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim).

Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).

Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak (HR. Abu Dawud).

Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).

Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).

Rasulullah SAW. bersabda: “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).

Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Abu Ya’la dan Thabrani).

Rasulullah SAW bersabda: Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka (Al Hadits).

Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).

Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi).

Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)

Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat, sebab syaithan menemaninya. Janganlah salah seorang di antara kita berkhalwat, kecuali wanita itu disertai mahramnya” (HR. Imam Bukhari dan Iman Muslim dari Abdullah Ibnu Abbas ra).

 Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas” (H.R. At-Turmidzi).

Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak” (HR. Abu Dawud).

Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).

Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya” (HR. Thabrani).

Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR. Ibnu Majah).

Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda: Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang beragama” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits Nabi tentang pernikahan. Bila Anda mau menambahkan silahkan ditambahkan pada kolom komentar di bawah. Apabila Anda menemui kesalahan pada hadits-hadits tentang nikah di atas, mohon kesediaannya untuk mengoreksi agar bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran buat kita semua.

Tags yang terkait dengan hadits tentang nikah: hikmah nikah, contoh hadits tentang nikah, hadits tentang nikah mut'ah, hadits tentang nikah siri, hadits tentang nikah beda agama, hadist tentang nikah, hukum dan dalil nikah, hadits nabi tentang pernikahan.
Posted by Azifah Nurjannah On 11.11 No comments READ FULL POST

pernikahan dini, pernikahan dini mp3, pernikahan dini menurut islam, pernikahan dini agnes monica mp3, pernikahan dini dalam pandangan islam, pernikahan dini menurut hukum perdata, pernikahan dini agnes monica download
Secara fisik, pemuda masa kini menjadi dewasa lebih cepat daripada generasi-generasi sebelumnya, tetapi secara emosional, mereka memakan waktu jauh lebih panjang untuk mengembangkan kedewasaan.

Kesenjangan antara kematangan fisik yang datang lebih cepat dan kedewasaan emosional yang terlambat menyababkan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial. Kematangan fisik, misalnya menjadikan kelenjar-kelenjar seksual mulai bekerja aktif untuk menghasilkan hormon-hormon yang 
Posted by Azifah Nurjannah On 11.10 No comments READ FULL POST

ayat nikah, dalil nikah, al quran, pernikahan
Nikah merupakan bagian dari syariat Islam. Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang menyinggung masalah nikah. Berikut ini ayat-ayat Al Quran yang membahas masalah nikah. Bila ada yang salah, mohon pembaca memberikan saran dan koreksinya pada kolom komentar di bawah.
  
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32).

Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).

“Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui¡” (Qs. Yaa Siin (36) : 36).

“Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik.” (Qs. An Nahl (16) : 72).

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At Taubah (9) : 71).

“Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali.” (Qs. An Nisaa (4) : 1).

“Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang melimpah (yaitu Surga).” (Qs. An Nuur (24) : 26).

“...Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..” (Qs. An Nisaa’ (4) : 3).

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka Sesungguhnya dia telah berbuat kesesatan yang nyata. (Qs. Al Ahzaab (33) : 36).

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nuur (24):32)

Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra (17): 32)

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya.” (Al-A’raf (7): 189)

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (An-Nur (24): 26).
Posted by Azifah Nurjannah On 11.08 No comments READ FULL POST

hukum menikah, menikahi janda dalam islam, keutamaan menikahi janda, hukum menikahi janda, pahala menikahi janda
Bagi Anda yang mau nikah,pilih gadis atau janda? Dari segi syariat, apakah memang dianjurkan menikahi seorang gadis yang masih perawan? Apakah ada keutamaannya? Lebih utama mana jika seorang perjaka berencana menikahi seorang janda karena niatnya ingin menolong? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pokok bahasanposting kali ini.

Menikah itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat, menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya. Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.

Berpangkal dari wujud nikah yang merangkum begitu banyak sisi tersebut, maka orang yang ingin menikah juga berhak membangun obsesi-obsesi halal seputar sisi-sisi yang melekat pada media pernikahan. 


Ia berhak membangun obsesi untuk bersenang-senang secara halal, menikmati masa mudanya, bercengkerama dengan gadis perawan yang telah sah menjadi istrinya, demikian pula sebaliknya, si istri dengan pemuda idaman yang telah sah menjadi suaminya.


Itulah yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — kepada salah seorang sahabat beliau yang baru saja menikahi seorang janda,“Kenapa engkau tidak menikah seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercandaria?”…yang dapat saling menggigit bibir denganmu?” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).


Di dalam satu riwayat disebutkan, “Kalian bisa saling tertawa dan menggembirakan satu terhadap yang lain.” (Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nafaqat, Bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi L4aladihi, juz 11, hal. 441).


Di dalam satu riwayat lagi, “Sehingga engkau juga memiliki yang dimiliki anak-anak gadis, berikut air liurnya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).


Itu artinya, menikahi seorang gadis juga “memborong” berbagai maslahat dan kepentingan yang diabsahkan dalam Islam. Maka, orang yang memilih menikahi gadis yang masih perawan demi tujuan-tujuan halal yang bisa membantunya untuk semakin bertakwa kepada Allah, jelas telah berada di jalur yang tepat, dan itu amat diapresiasi dalam Islam, seperti yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di atas. Tapi, bagaimanapun, itu hanyalah satu alternatif dari sekian alternatif pilihan.


Orang juga berhak menikah dengan wanita yang terbukti subur dan penyayang terhadap anak, baik ia gadis –melalui penelitian medis, dan juga kebiasaannya sehari-hari– ataupun janda. Karena memiliki banyak keturunan juga tujuan absah dalam Islam, bahkan juga sangat dianjurkan. 


Nabi bersabda, "Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228).

Ibnu Hajar memberi penjelasan, “Hadits ini dan hadits-hadits yang senada yang banyak jumlahnya, meski sebagian di antaranya lemah, memberikan motivasi untuk menikah dengan wanita yang bisa memberikan keturunan.”


Di sini, ada sebuah rahasia penting tentang keragaman pilihan dalam menikah. Tentu, seorang janda yang sudah menikah secara kongkrit bisa memberi bukti bahwa ia wanita yang subur dan penyayang terhadap anak. 


Maka, bila seorang pria lajang memilih menikah seorang janda beranak dua misalnya, karena ia melihat wanita itu terbukti subur –dari jarak kelahiran kedua anaknya– dan tampak begitu sangat menyayangi kedua anaknya, maka pria tersebut juga berada di garis syariat. Karena perintah atau anjuran Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam hadits di atas juga sangatlah lugas, siapapun yang melaksanakan substansi perintah tersebut, meski dengan menikah seorang janda, maka ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –.


Begitu pula orang yang menikahi seorang janda karena alasan ingin menolong janda tersebut. Saat ditinggal wafat istrinya, Khadijah, Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — mengalami kesedihan hebat. Saat itulah, seorang wanita, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”
 

Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.” “Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi. “Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah. Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, “Siapa yang janda?” “Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita Muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu, Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.
 

Riwayat ini menegaskan tentang adanya anjuran menikahi janda bila bertujuan meringankan beban hidupnya, dan itu termasuk dalam kategori “tolong-menolong atas dasar ketakwaaan dan kebajikan.” Juga termasuk yang mendapatkan kabar gembira, “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama si hamba menolong sesamanya.”

Suatu saat, Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pernah bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).


Demikian ungkapan rasa kasih beliau terhadap para janda. Menikahi janda karena kondisinya yang miskin dan butuh pertolongan termasuk dari bagian sunnah yang dapat dipahami dari hadits ini. Dengan demikian, kedua pilihan tersebut –menikahi gadis atau janda– sama-sama bisa berada di garis anjuran syariat, keduanya adalah alternatif, dan siapapun berhak memilih mana yang baginya lebih ia minati.


Nah, persoalannya, tengoklah kemampuan diri dan juga kapasitas yang ada dalam diri kita masing-masing. Teliti dan cermati kebutuhan yang berjalan selaras dengan kondisi jiwa kita, kebutuhan fisik kita, kecenderungan hati kita, dan segala wujud alat analisa yang tersebar dalam diri kita. 


Praktisnya, bila seseorang berkeinginan menikahi seorang janda, jangan ia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri yang ingin ia capai dengan menikah. Teliti dan cermati, bila ia menikahi janda tersebut, apakah segala keinginannya untuk bercengkerama, bersenang-senang secara halal, melampiaskan kebutuhan ragawinya yang secara fitrah butuh dilampiaskan, apakah semua itu dapat dicapai?


Kalaupun tak sepenuhnya, minimal hingga batas ia tak perlu mengumbarnya dengan cara yang haram! Atau, misalnya dapat dipenuhi sisanya dengan berpoligami secara sehat, apakah istri pertama (wanita janda yang ia nikahi tersebut) rela berbagi?

Bila pilihannya adalah menikahi seorang gadis, dapatkan gadis itu memenuhi kebutuhannya soal anak misalnya. Kalau memang bisa, adakah kelebihan si janda dibandingkan si gadis yang dapat mendorongnya untuk lebih memilih janda tersebut?


Berbagai pilihan terbentang di depan kita, dan Islam memang agama yang maslahat. Maka ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan mubah tersebut, gunakanlah kebijakan analisa kita untuk dapat mencapai sebesar-besarnya maslahat bagi diri kita, agama kita, dunia dan akhirat kita secara keseluruhan. Gadis atau janda bukanlah masalah, yang menjadi masalahnya: Dengan siapakah di antara keduanya Anda merasa bisa hidup berbahagia dan sejahtera? Pilihan ada di tangan Anda. Wallaahul muwaffiq. Sumber: majalahsakinah.com


Tags yang terkait dengan hukum menikah: menikahi janda dalam islam, keutamaan menikahi janda, hukum menikahi janda, pahala menikahi janda, hukum menikahi,hukum menikahi pelacur, hukum menikahi wanita yang pernah berzina, hukum menikahi wanita hamil menurut islam, hukum menikahi anak tiri, hukum menikahi sepupu, hukum menikahi wanita non muslim, hukum menikahi janda, hukum menikahi wanita hamil diluar nikah.
Posted by Azifah Nurjannah On 11.06 No comments READ FULL POST

hukum nikah siri tanpa wali, syarat nikah siri,hukum nikah siri dengan wali hakim, dasar hukum nikah siri, hukum nikah siri dalam islam, makalah hukum nikah siri, hukum nikah siri menurut Negara, hukum nikah siri dalam pandangan islam


Nikah siri bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Nikah siri dalam presepsi masyarakat dipahami dengan 2 bentuk pernikahan :
Pertama,  Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita. Kedua, Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).

Nikah siri  dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)

Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini.  (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).

Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya. 

Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.

Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dan seterusnya.

Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59). Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.

Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.

Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.

Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.

Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..

Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita perlu tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki  akta kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda. Allahu a’lam. Sumber: konsultasisyariah.com

Tags: yang terkait dengan hukum nikah sirihukum nikah siri tanpa walisyarat nikah siri,hukum nikah siri dengan wali hakimdasar hukum nikah sirihukum nikah siri dalam islam, makalah hukum nikah sirihukum nikah siri menurut Negarahukum nikah siri dalam pandangan islam.
Posted by Azifah Nurjannah On 11.04 No comments READ FULL POST
Menikah ialah hal yang dianjurkan dalam agama bagi orang yang sudah cukup umur, namun ada juga segelintir orang yang lebih memilih untuk hidup membujang. Mereka membujang dengan alasan bahwa pernikahan hanya memasung kebebasan pribadi dan hanya akan memberikan beban kepada mereka sebagai tanggung jawab yang harus dipikul.

Keputusan membujang merupakan salah satu pintu setan yang memalingkan manusia dari perbuatan luhur yang akan mendorong manusia ke lubang penistaan dan terjemus ke dalam api neraka.

Perintah Allah akan pernikahan sudah sangat jelas’
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukannya dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (Pemberian-Nya) lagi Mahamengetahui” (QS. An-Nur:32)

Ketika kemampuan untuk menikah tidak dijumpai, maka kewajiban untuk menjaga kesucian dan kehormatan pun harus dikedepankan. Sebagaimana firman Allah swt,

Hukum Membujang Menurut Islam


“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)- nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur:33)
hukum+membujang
Pernikahan seluruhnya adalah kebaikan dan keberadaban bagi individu dan masyarakat. Warga Negara yang mampu menjaga kesucian diri adalah pondasi masyarakat yang suci. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, Rasulullah saw bersabda,

“Siapa saja yang sudah menikah, maka ia sudah menjaga sebagian agamanya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dalam sebagiannya yang lain.”

Artinya, dengan pernikahan, seseorang memelihara kesucian dan kehormatan dirinya, dan menutu banyak pintu setan dari dirinya.

Pernikahan tidak dapat dilepaskan dari hukum agama. Pada prinsipnya, pernikahan sangat dianjurkan sebab pernikahan merupakan fitrah murni yang dibina atas pertemuan laki-laki dan perempuan dalam bingkai syariat Allah swt. Rasulullah saw bersabdah,

“Aku adalah seseorang di antara kalian yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwah kepada Allah. Meski begitu, aku berpuasa tapi berbuka juga, aku shalat tapi tidur juga. Aku pun menikahi wanita-wanita. Maka siapa pun yang benci terhadapa sunahk, maka ia bukan termasuk umatku. ”

Pernikahan bisa menjadi wajib atas seseorang ketika ia sudah dianggap mampu dan takut terjerumus ke dalam dosa. Pernikahan juga bisa dianggap makruh apabila dilangsungkan bagi mereka yang belum mampu untuk menikah. Bahkan, pernikahan bisa menjadi haram apabila seseorang tidak mampu unutk bercampur dengan istri dan ketika seseorang menderita penyakit yang bisa menjadi penghalang pernikahan.

Para sahabat dan ulama telah memahami hikmah pernikahan, hingga mereka pun bersegera menikah. Ibn Mas`ud pernah bertutur, “Seandainya umurku hanya tersisa 10 hari, aku pasti akan suka menikah agar aku tak bersua dengan Allah sebagai bujangan.”
Posted by Azifah Nurjannah On 10.50 No comments READ FULL POST
Pernikahan adalah satu ayat dari ayat-ayat Allah yang dibina atas dasar cinta dan kasih sayang. Allah swt berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Rum:21)

Pernikahan bukan soal kekuasaan suami terhadap istri atau sebaliknya. Pernikahan adalah kehidupan bersama yang dipertemukan oleh amanat dan tanggungjawab. Ada hikmah tersendiri ketika Allah menjadikan pemimpin dalam keluarga berada di tangan suami. Sebab, biasanya suami bisa lebih bersabar menghadapi persoalan hidup, jauh dari emosi dan jauh lebih rasional dan cermat.

Di samping itu, suamilah yang memuliakan perempuan dengan memberinya maskawin dan menanggung nafkahnya. Allah swt berfirman,

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ”(QS.An-nisa:34 )

Pemegang Kendali dalam Pernikahan


kendali+pernikahan
Berdasarkan kepemimpinan ini pulalah garis keturunan selalu dikaitkan kepada bapak bukan kepada ibu. Islam betul-betul memperhatikan keabsahan nasab. Rasulullah saw bersabda, “Siapa pun yang mengaku-ngaku nasabnya kepada orang lain yang bukan bapaknya, padahal ia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga diharamkan untuknya.”

Beliau juga menyabdakan, “Perempuan mana saja yang menasabkan anaknya kepada satu kaum yang bukan orang tua anaknya, maka ia takkan mampu memperoleh apa pun dari Allah, dan Allah juga tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Lalu, laki-laki mana saja yang tak mengakui anaknya padahal ia melihatnya, Allah akan menutup hatinya dari sang anak dan mengutuknya di antara sekalian orang-orang terdahulu dan yang datang kelak”

Yang memegang kendali dalam pernikahan adalah suami. Suamilah yang memiliki hak talak ketika kehidupan rumah tangga mengalami kegagalan. Namun, ada sebagian ulama yang memperbolehkan istri menjadi pelindung rumah tangga apabila hal itu dipersyaratkan saat akad nikah.

Kendati demikian, pendapat ini tidak mewakili orientasi resmi yang benar dalam agama serta tidak menggambarkan realitas fitrah yang sebenarnya.

Tidak semua pendapat yang menyatakan bahwa hak talak bisa dipegang perempuan, namun hal ini tetap tidak bisa mencabut hak laki-laki untuk menalak selama talak menjadi solusi terakhir untuk menyelesaikan problem rumah tangga. Dalam situasi seperti ini, kedua belah pihak memilki hak untuk menjatuhkan talak.

Di sini, poin yang harus diperhatikan adalah hubungan baik antara suami-istri. Masing-masing pihak harus berusaha saling membahagiakan dan tidak memaksakan kemauan pribadinya agar pernikahan tetap langgeng dan mengahasilkan buah yang baik dan diberkati. Kesetiaan terhadap kehidupan rumah tangga adalah kesetiaan luhur dan tersuci.


Posted by Azifah Nurjannah On 10.48 No comments READ FULL POST
Allah swt berfirman, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
[1481] 
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang [1482] . Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru[1483] . Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan ke luar.”(QS.At-Thalaq:1-2)

Ayat ini memberikan petunjuk kapada para suami tentang tata cara mejatuhkan talak yang sesuai dengan sunnah dan syariat Allah swt. Talak merupakan solusi terakhir bagi perselisihan rumah tangga yang semakin rumit di mana suami-istri tak mampu menyelesaikannya sendiri maupun dengan bantuan perantara dari keluarga mereka.

Tentang Talak dan Iddah


talak+dan+iddah
Apabilah seorang suami bermaksud menceraikan istrinya, hendaknya ia melakukannya dengan memperhitungkan iddah sang istri. Ia harus menceraikan istinya, ketika sang istri dalam keadaan suci setelah haid bulanan dan keduanya tidak melakukan hubungan suami istri. Sebab, jika suami menceraikan istri dalam keadaan haid, maka iddahnya akan menjadi lama.

Lagi pula kondisi pisikologis perempuan ketika haid tidak stabil. Maka yang tepat adalah menunda penjatuhan talak hingga haid istri berakhir, agar talak tersebut diterima dengan hati tenang dan pikiran matang.

Kalau suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dan setelah menggaulinya, maka ditakutkan sang istri hamil dari hubungan tersebut. Kehamilan bisa menolong hubungan suami-istri, hingga timbul penyesalan dalam diri suami.

Penyesalan selalu datang terlambat. Dari sini, apabila suami melanggar dan menjatuhkan talak saat istrinya haid atau setelah ia menggauli sang istri, maka talak ini dinamakan talak bid`I yang menyalahi syariat agama. Kendati demikian, kondisi ini tetap tercapai dan menjadikan istri haram untuk digauli mantan suaminya.

Hal ini berdasarkan sebuah hadis shahih yang menuturkan bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya yang ketika itu sedang haid. Umar ibn Al-Khathab menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda,

“Perintahkan ia untuk merujuk istrinya yang sedang hadi itu, lalu menangguhkan talaknya sampai istirnya suci, lalu haid lagi lalu suci lagi. Kemudian, kalau ia mau, ia bisa mempertahankan istrinya. Kalau ia mau, ia boleh juga mentalaknya sebelum menyentuhnya. Itulah iddah yang telah diperintahkan Allah bagi kalian untuk menceraikan istri-istri kalian.”

Setelah tala dijatuhkan, iddah harus dihitung dengan cermat. Islam sudah menggariskan hukum-hukum tentang iddah. Suami yang menjatuhkan talak raj`I boleh  merujuk istrinya yang masih berada dalam iddahnya dengan ucapan maupun perbuatannya tanpa harus melalui persetujuannya. Namun, apabila iddah istri sudah usai, maka suami tak bisa merujuknya lagi kecuali dengan akad nikah dan maskawin yang baru, serta harus melalui izin mantan istri dan walinya.

Seorang perempuan, jika masa iddahnya habis, ia diperbolehkan untuk menikahi siapa saja. Suaminya yang pertama sudah tidak punya kuasa lagi atas dirinya. Allah swt berfirman,

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”(QS. Al-Baqarah:229) 
Posted by Azifah Nurjannah On 10.45 No comments READ FULL POST
Allah swt telah mensyariatkan masa iddah bagi perempuan. Iddah adalah nama untuk menyebut suatu periode di mana wanita mengunggu untuk mengetahui kebebasan rahimnya dari kehamilan, atau untuk ibadah dan belasungkawa atas kematian suaminya.

Iddah ini digariskan untuk melindungi nasab agar tidak terjadi percampuran garis keturunan dan untuk melindungi hak ayah dan anak.

Masa iddah berbeda-beda dari satu wanita dengan wanita yang lain baik karena perceraian atau ditinggal mati suaminya, baik sedang hamil atau tidak.

Istri yang dicerai dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai kelahiran bayinya, baik masanya panjang maupun hanya sebentar. Allah swt berfirman,

“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ”(QS. Ath-Thalaq:4)

Sebab, kehamilannya itu dari suami pertama. Oleh karena itu, anak yang nanti lahir harus dinasabkan kepada suami pertama dan harus ditunggu kelahirannya sehingga nasab anak itu bisa dikaitkan kepada ayahnya.

Masa Iddah Perempuan


masa+iddah+perempuan
Apabilah istri yang dicerai itu sudah melahirkan, maka ia boleh menikah dengan pria lain meski hanya selang beberapa hari setelah melahirkan tanpa harus menunggu lebih lama lagi.

Apabila wanita yang dicerai tersebut sudah memasuki masa menopause, maka iddahnya adalah 3 bulan. Allah swt berfirman, 

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. ”(QS. Ath-Thalaq:4) 

Apabila perempuan itu masih mengalami haid, maka masa iddahnya adalah 3 quru`. Allah swt berfirman, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [142] (QS. Al-Baqarah:228) 

Untuk perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, berdasarkan firman Allah swt, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka [147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS. Al-Baqarah:234)

Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa iddahnya selesai dengan kelahiran bayinya, meski kurang dari 4 bulan 10 hari. Namun, yang paling tepat, ialah iddahnya itu selesai dengan jatuh tempo yang paling lama; baik dengan melahirkan anaknua maupun dengan 4 bulan 10 hari. Dari kedua masa, masa iddahnya adalah yang paling lama jatuhnya.

Lalu, seorang wanita yang sedang dalam masa Iddah karena kematian suaminya harus melakukan ihdad yaitu tidak berhias dan berdandan. Selama masa iddahnya ini, ia harus berada di rumah suaminya dan tak boleh keluar kecuali karena ada kebutuhan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw yang berbunyi, 

“Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tak dihalalkan melakukan ihdad atas kematian seseorang lebih dari 3 hari kecuali atas kematian suaminya dengan waktu 4 bulan 10 hari”
Posted by Azifah Nurjannah On 10.39 No comments READ FULL POST
Pernikahan adalah pertemuan dua hati antara seorang pria dan seorang wanita dalam koridor aturan-aturan syariat dan batasan-batasan agama. Pernikahan bukan hanya kenikmatan dan kepuasan sesaat, melainkan merupakan suatu tanggungjawab dan perngorbanan.

Oleh karena itu, dalam pernikahan harus tersedia beberapa hal yang bisa membantu mewujudkan tanggungjawab tersebut. Salah satunya dan yang paling penting yaitu agama dan akhlak

Pernikahan Muslimah dengan Mualaf

pernikahan+mualaf
Seorang perempuan muslim atau muslimah tak diperbolehkan menikah dengan pria nonmuslim, apa pun agamanya dan bagaimanapun keadaannya. Kaum nonmuslim biasanya tak akan membiarkan muslimah untuk menjaga agama, kehormatan dan kesucian dirinya.

Apalagi ada banyak hal berkaitan dengan kebiasaan tata karma yang dilakukan oleh kaum nonmuslim, sangat bertentangan dengan ajaran islam, dan akan menyulitkan bagi seorang muslimah untuk hidup bersama pria nonmuslim. Allah swt berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijarah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklan kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada( suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah:10)

Allah swt juga berfirman dalam surah Al-Baqarah:221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang  musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya”

Namun jika ada pria nonmuslim masuk islam dan yakin terhadap islam (mualaf), maka tidak jadi masalah jika dia menikahi seorang muslimah. Pernikahan seperti bisa saja menjadi penambah pahala bagi istri yang membantu suaminya itu untuk merengkuh kehidupan secara islami yang sahih.

Dalam sebuah hadis yang diwartakan oleh An-Nasa`I dengan mata rantai kesaksian yang sahih dari Anas ra yang menuturkan, Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, yaitu ibunda Ana Ibn Malik. Ummu Sulaim adalah seorang janda. Ia pun berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak pantas ditolak. Namun, engkau kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah. Aku tidak dihalalkan untuk menikah denganmu. Tapi, jika engkau bersedia masuk islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak akan meminta maskawin yang lain”

Abu Thalhah pun masuk islam. Keislamannya inilah yang menjadi maskawin Ummu Sulaim. Perawi hadis ini menuturkan, “Tidak ada perempuan yang maskawinnya lebih terhormat ketimbang Ummu Sulaim”

Abu Thalhah kemudian masuk islam. Ia menjadi pemeluk islam yang amat taat. Dari pernikahannya dengan Ummu Suliam, lahir seorang bayi laki-laki yang meninggal ketika masih kecil, bernama Abu Umair. Abu Thalhah sangat sayang kepada putranya ini. Setelah itu lahirlah `Abudullah ibn Abi Thalhah, Allah memberkati anak ini. Abu Thalhah kemudian memiliki sepuluh putra yang kesemuanya hafal Al-Quran dan menyampaikan ilmu kepada masyarakat


Posted by Azifah Nurjannah On 10.37 No comments READ FULL POST
Prinsip dari disyariatkannya pernikahan adalah perjumpaan kalbu yang tulus antara laki-laki dan perempuan demi pemeliharaan kesucian dan kehormatan diri.

Islam sangat memperhatikan nilai ini tatkala Rasulullah saw menegaskan untuk menghormati keinginan seorang wanita (dalam memiliih orang yang dicintainya). Penegasan Rasulullah ini muncul daam bentuk perintah, larangan, dan hukum.

Wujud perintah itu terpapar dalam sebuah hadis sahih bahwa Nabi saw bersabda,“Janda itu lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya, dan perawan itu diminta restunya dalam urusan perkawinan, sedangkan restunya adalah diamnya”


Hak Wanita untuk Memilih Suami

memilih+suami
Secara etimologis sudah diketahui bahwa kalimat perintah dalam bentuk berita lebih efektif dalam menyampaikan pesan ketimbang dalam bentuk perintah langsung.

Kemudian, wujud larangan Rasulullah muncul dalam sebuah riwayat Sahih yang dituturkan oleh Imam Muslim, yaitu sabda Rasulullah saw,



“Janda tidak boleh dinikahkan sebelum diminta persetujuannya, dan perawan tidak boleh dinikahkan sebelum diminta restunya. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana restu perawan itu? Beliau menjawab, ‘Restunya adalah dengan diamnya”

Musyawarah mempunyai urgensi yang signifikan dalam rumah keluarga muslim, khususnya yang menyangkut persoalan pernikahan. Kehidupan tidak bisa dibina atas dasar paksaan. Pernikahan seharusnya dimulai dengan keinginan yang tulus dari kedua belah pihak. Bagi siapapun yang mau bermusyawarah ia tak akan menyesal
Posted by Azifah Nurjannah On 10.35 No comments READ FULL POST