Senin, 06 Mei 2013

Allah swt berfirman, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
[1481] 
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang [1482] . Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru[1483] . Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan ke luar.”(QS.At-Thalaq:1-2)

Ayat ini memberikan petunjuk kapada para suami tentang tata cara mejatuhkan talak yang sesuai dengan sunnah dan syariat Allah swt. Talak merupakan solusi terakhir bagi perselisihan rumah tangga yang semakin rumit di mana suami-istri tak mampu menyelesaikannya sendiri maupun dengan bantuan perantara dari keluarga mereka.

Tentang Talak dan Iddah


talak+dan+iddah
Apabilah seorang suami bermaksud menceraikan istrinya, hendaknya ia melakukannya dengan memperhitungkan iddah sang istri. Ia harus menceraikan istinya, ketika sang istri dalam keadaan suci setelah haid bulanan dan keduanya tidak melakukan hubungan suami istri. Sebab, jika suami menceraikan istri dalam keadaan haid, maka iddahnya akan menjadi lama.

Lagi pula kondisi pisikologis perempuan ketika haid tidak stabil. Maka yang tepat adalah menunda penjatuhan talak hingga haid istri berakhir, agar talak tersebut diterima dengan hati tenang dan pikiran matang.

Kalau suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dan setelah menggaulinya, maka ditakutkan sang istri hamil dari hubungan tersebut. Kehamilan bisa menolong hubungan suami-istri, hingga timbul penyesalan dalam diri suami.

Penyesalan selalu datang terlambat. Dari sini, apabila suami melanggar dan menjatuhkan talak saat istrinya haid atau setelah ia menggauli sang istri, maka talak ini dinamakan talak bid`I yang menyalahi syariat agama. Kendati demikian, kondisi ini tetap tercapai dan menjadikan istri haram untuk digauli mantan suaminya.

Hal ini berdasarkan sebuah hadis shahih yang menuturkan bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya yang ketika itu sedang haid. Umar ibn Al-Khathab menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda,

“Perintahkan ia untuk merujuk istrinya yang sedang hadi itu, lalu menangguhkan talaknya sampai istirnya suci, lalu haid lagi lalu suci lagi. Kemudian, kalau ia mau, ia bisa mempertahankan istrinya. Kalau ia mau, ia boleh juga mentalaknya sebelum menyentuhnya. Itulah iddah yang telah diperintahkan Allah bagi kalian untuk menceraikan istri-istri kalian.”

Setelah tala dijatuhkan, iddah harus dihitung dengan cermat. Islam sudah menggariskan hukum-hukum tentang iddah. Suami yang menjatuhkan talak raj`I boleh  merujuk istrinya yang masih berada dalam iddahnya dengan ucapan maupun perbuatannya tanpa harus melalui persetujuannya. Namun, apabila iddah istri sudah usai, maka suami tak bisa merujuknya lagi kecuali dengan akad nikah dan maskawin yang baru, serta harus melalui izin mantan istri dan walinya.

Seorang perempuan, jika masa iddahnya habis, ia diperbolehkan untuk menikahi siapa saja. Suaminya yang pertama sudah tidak punya kuasa lagi atas dirinya. Allah swt berfirman,

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”(QS. Al-Baqarah:229) 
Posted by Azifah Nurjannah On 10.45 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube