Pernikahan adalah pertemuan dua hati antara seorang pria dan seorang wanita dalam koridor aturan-aturan syariat dan batasan-batasan agama. Pernikahan bukan hanya kenikmatan dan kepuasan sesaat, melainkan merupakan suatu tanggungjawab dan perngorbanan.
Oleh karena itu, dalam pernikahan harus tersedia beberapa hal yang bisa membantu mewujudkan tanggungjawab tersebut. Salah satunya dan yang paling penting yaitu agama dan akhlak
Seorang perempuan muslim atau muslimah tak diperbolehkan menikah dengan pria nonmuslim, apa pun agamanya dan bagaimanapun keadaannya. Kaum nonmuslim biasanya tak akan membiarkan muslimah untuk menjaga agama, kehormatan dan kesucian dirinya.
Apalagi ada banyak hal berkaitan dengan kebiasaan tata karma yang dilakukan oleh kaum nonmuslim, sangat bertentangan dengan ajaran islam, dan akan menyulitkan bagi seorang muslimah untuk hidup bersama pria nonmuslim. Allah swt berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijarah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklan kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada( suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah:10)
Allah swt juga berfirman dalam surah Al-Baqarah:221:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya”
Namun jika ada pria nonmuslim masuk islam dan yakin terhadap islam (mualaf), maka tidak jadi masalah jika dia menikahi seorang muslimah. Pernikahan seperti bisa saja menjadi penambah pahala bagi istri yang membantu suaminya itu untuk merengkuh kehidupan secara islami yang sahih.
Dalam sebuah hadis yang diwartakan oleh An-Nasa`I dengan mata rantai kesaksian yang sahih dari Anas ra yang menuturkan, Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, yaitu ibunda Ana Ibn Malik. Ummu Sulaim adalah seorang janda. Ia pun berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak pantas ditolak. Namun, engkau kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah. Aku tidak dihalalkan untuk menikah denganmu. Tapi, jika engkau bersedia masuk islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak akan meminta maskawin yang lain”
Abu Thalhah pun masuk islam. Keislamannya inilah yang menjadi maskawin Ummu Sulaim. Perawi hadis ini menuturkan, “Tidak ada perempuan yang maskawinnya lebih terhormat ketimbang Ummu Sulaim”
Abu Thalhah kemudian masuk islam. Ia menjadi pemeluk islam yang amat taat. Dari pernikahannya dengan Ummu Suliam, lahir seorang bayi laki-laki yang meninggal ketika masih kecil, bernama Abu Umair. Abu Thalhah sangat sayang kepada putranya ini. Setelah itu lahirlah `Abudullah ibn Abi Thalhah, Allah memberkati anak ini. Abu Thalhah kemudian memiliki sepuluh putra yang kesemuanya hafal Al-Quran dan menyampaikan ilmu kepada masyarakat
Oleh karena itu, dalam pernikahan harus tersedia beberapa hal yang bisa membantu mewujudkan tanggungjawab tersebut. Salah satunya dan yang paling penting yaitu agama dan akhlak
Pernikahan Muslimah dengan Mualaf
Apalagi ada banyak hal berkaitan dengan kebiasaan tata karma yang dilakukan oleh kaum nonmuslim, sangat bertentangan dengan ajaran islam, dan akan menyulitkan bagi seorang muslimah untuk hidup bersama pria nonmuslim. Allah swt berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijarah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklan kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada( suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah:10)
Allah swt juga berfirman dalam surah Al-Baqarah:221:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya”
Namun jika ada pria nonmuslim masuk islam dan yakin terhadap islam (mualaf), maka tidak jadi masalah jika dia menikahi seorang muslimah. Pernikahan seperti bisa saja menjadi penambah pahala bagi istri yang membantu suaminya itu untuk merengkuh kehidupan secara islami yang sahih.
Dalam sebuah hadis yang diwartakan oleh An-Nasa`I dengan mata rantai kesaksian yang sahih dari Anas ra yang menuturkan, Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, yaitu ibunda Ana Ibn Malik. Ummu Sulaim adalah seorang janda. Ia pun berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak pantas ditolak. Namun, engkau kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah. Aku tidak dihalalkan untuk menikah denganmu. Tapi, jika engkau bersedia masuk islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak akan meminta maskawin yang lain”
Abu Thalhah pun masuk islam. Keislamannya inilah yang menjadi maskawin Ummu Sulaim. Perawi hadis ini menuturkan, “Tidak ada perempuan yang maskawinnya lebih terhormat ketimbang Ummu Sulaim”
Abu Thalhah kemudian masuk islam. Ia menjadi pemeluk islam yang amat taat. Dari pernikahannya dengan Ummu Suliam, lahir seorang bayi laki-laki yang meninggal ketika masih kecil, bernama Abu Umair. Abu Thalhah sangat sayang kepada putranya ini. Setelah itu lahirlah `Abudullah ibn Abi Thalhah, Allah memberkati anak ini. Abu Thalhah kemudian memiliki sepuluh putra yang kesemuanya hafal Al-Quran dan menyampaikan ilmu kepada masyarakat
0 komentar:
Posting Komentar